Senin, 25 Mei 2020

Transisi Normal Baru dalam Pendidikan

New Normal Di Beberapa Negara

“We sense that ‘normal’ isn’t coming back, that we are being born into a new normal: a new kind of society, a new relationship to the earth, a new experience of being human.”

Charles Eisenstein

Bahwa setiap orang telah mendorong adanya perubahan yang dibuat untuk pendidikan di Indonesia untuk waktu yang lebih lama. Walaupun untuk mewujudkan perubahan itu tidaklah mudah. Merevitalisasi pendidikan di Abad ke-21 merupakan suatu kebutuhan, bahkan suatu keharusan. Setelah arus RI 4.0 dan Society 5.0 melanda Indonesia dan secepat itu Pandemi Covid-19 datang tiba-tiba menggegerkan dunia, tak terkecuali Indonesia. Manusia sebagai subjek dan objek perubahan tidak bisa tinggal diam. Setiap manusia harus melakukan perubahan, jika tidak, maka keadaan akan memaksa manusia untuk berubah. Dengan demikian kehadiran Normal Baru menemui relevansinya.

Normal Baru dalam pendidikan menghendaki kita untuk belajar meninggalkan apa yang telah kita ketahui, misalnya; barisan-barisan bangku, tas-tas yang berat bebannya, kuliah umum, ujian nasional, dan komunikasi orangtua-guru yang jelek serta banyak lainnya yang menjadi stereotype Normal Lama. Dengan kita telah belajar meniadakan semuanya itu, dan merancang perubahan yang sesuai dengan tuntutan jaman dan standar baru, berarti kita dapat menegakkan Normal Baru dalam Pendidikan.

Ketika akhir-akhir ini kita langsung memasuki cara belajar melalui Daring dengan segala keterbatasannya, maka secara tidak langsung kita sudah memasuki Normal Baru dalam Pendidikan. Sistem pembelajaran Daring merupakan sesuatu yang esensial untuk terjadinya aktivitas belajar, walaupun tidak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan, sehingga sejumlah aktivitas pendidikan lainnya tidak harus berhenti. Untuk itu sangat diperlukan pendefinisian Normal Baru dengan indikator utama dan parameter yang disepakati.

Menurut Kamalludeen, R. M, (2020), ada 4 aspek untuk menfasilitasi transisi ke Normal Baru dalam Pendidikan. Pertama, perubahan ruang belajar - dari ruang publik - ke ruang personal. Artinya bahwa daripada pergi ke sekolah atau universitas yang menjanjikan aktivitas belajar, sekarang yang terjadi bahwa belqjar sapat berlangsung di rumah  dan di ruang/kamar pribadi anak. Belajar dilakukan melalui alat-alat personal tanpa harus pergi ke suatu tempat. Yang terjadi adalah adanya perubahan interaksi sosial, dari yang sifatnya fisik ke yang virtual. Interaksi dan komunikasi terjadi antara anggota komunitas belajar, baik antara teman sekelas atau seangkatan maupun antara siswa dengan guru atau mahasiswa dengan dosen. Perubahan yang terjadi hanya pada saluran berkomunikasi.

Kedua, perubahan metode atau cara pembelajaran, dari satu metode pembelajaran untuk semua siswa, ke metode pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa (kolektif) atau individual. Selama ini dalam satu kelas memperoleh materi ceramah yang sama, mengerjakan tugas di sekolah/ruang yang sama, dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang sama pula. Akhir semester mereka dievaluasi dengan alat penilaian yang sama. Normal Baru menghendaki model dan materi pembelajaran berdasarkan kemampuan individu yang dapat memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan keunikan dan kecepatannya. Tujuan pembelajaran untuk semua siswa sama, tetapi setiap siswa dapat menyelesaikan kurikulum dengan kecepatan yang berada dan sumber belajar yang berbeda juga. Mungkin seorang anak cocok belajar dengan menggunakan video, tetapi anak yang lainnya lebih cocok dengan buku teks, dan seterusnya.

Ketiga, perubahan tanggung jawab dalam proses pembelajaran. Bertumpu pada partisipasi aktif anggota keluarga. Belajar berlangsung di ruang pribadi, di rumah anak sendiri. Anggota keluarga menjadi agen aktif dalam proses pembelajaran. Seluruh anggota keluarga bisa bertindak sebagai fasilitator, memberikan bimbingan dan bantuan untuk terjadinya  proses pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Walaupun guru selalu dapat menyampaikan pelajaran dan materi belajar secara online, belajar tetap membutuhkan interaksi dengan dunia nyata. Pada saat itulah anggota keluarga bisa membantu anak mengenali lingkungan. Dukungan dari anggota keluarga memberikan keyakinan kepada siswa bahwa belajar itu penting sekali.

Keempat, perubahan evaluasi belajar - dari ujian akhir/sumatif ke ujian formatif. Ujian akhir/sumatif diyakini tidak sepenuhnya mewakili semua aspek yang harus dinilai. Untuk lebih detilnya justru ujian formatif, yang tidak hanya dibatasi pada penguasaan teori tapi juga praktek. Tidak hanya dibatasi aspek kognitif, tapi juga aspek afektif dan psikomotorik. Dengan memperhatikan kelebihan antar sistem evaluasi, maka sistem evaluasi pembelajaran Normal Baru cenderung melihat penilaian formatif lebih diutamakan.

Dengan memperhatikan empat aspek yang terkait dengan transisi Normal Baru dalam Pendidikan, maka diyakini betul bahwa keberlangsungan praksis pendidikan tidak bisa lepas dari peran teknologi, terutama teknologi informasi. Sementara itu kondisi geografis dan sosio-kultural bangsa Indonesia serta kemampuan dan dukungan  infrastruktur masih di bawah 50 persennya. Jika pembelajaran Daring akan menjadi andalannya, maka proses pendidikan yang bermutu belum bisa menjangkau semua institusi pemdidikan dan semua siswa/mahasiswa.

Demikianlah akhirnya untuk mewujudkan transisi Normal Baru dalam Pendidikan sangatlah dibutuhkan penguasaan dan pemahaman visi bersama, serta perspektif yang sama terhadap praksis dan perilaku  pendidikan. Dengan begitu sangat diperlukan konvensi baik pada tataran nasional maupun lokal yang menjadi rujukan dan mengikat pada semua stakeholder pendidikan. Kecepatan transisi Normal Baru dalam pendidikan sangat tergantung pada gaya kepemimpinan dan partisipasi aktif semua stakeholder dalam membangun pendidikan bermutu. (*)

*) Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat, Dewan Pakar Psyco Education Centre.

0 comments:

Posting Komentar