Selasa, 08 September 2020

Yadnya, Bentuk Keterpanggilan Orang Bali

 

Yadnya, Bentuk Keterpanggilan Orang Bali


Belakangan ini beberapa orang Bali mulai mengeluh kalau menyambut hari raya Bali. Mengeluh beratnya beban yang harus dipikul, fisik maupun materi. Membayangkan pekerjaan bertumpuk yang harus diselesaikan. Bisa tidak bisa harus selesai. Mereka mulai marah, merengut dan pada hari H di mana semua persiapan telah selesai, bukan kebahagiaan yang diperoleh. Anggota keluarga lainnya pada diam karena lelah dan jengkel mengingat kemarahan yang dilontarkannya. Akan teruskah tiap hari raya disambut dengan merasa beban? Bisakah merasakan bahwa Tuhan, leluhur tidak pernah minta disajikan yang ''wah,'' yang termegah? Yang diajarkan dan yang diharapkan, ''Dengan cara apa pun kamu sembah Aku, Aku terima''. Bisakah ikhlas mengerjakan dan mempersembahkan sesuatu untuk Beliau, bisakah meyadnya?

Dalam keseharian rumah tangga di Bali seakan milik perempuan. Semua tanggung jawab ada pada perempuan. Kalau anak nakal, kalau keluarga kacau yang disalahkan perempuan. Perempuan berusaha menunjukkan diri dengan mengambil semua pekerjaan rumah tangga, termasuk dalam mendidik anak. Akhirnya tiap hari raya besar seperti Galungan dan Kuningan dan hari-hari besar lainnya, perempuan Bali merasa tegang, membayangkan bertumpuknya pekerjaan, besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan waktu yang disita untuk mengerjakan hal itu. Perempuan mulai mengeluh, mendamprat, bahkan kadang memaki karena lelah, karena tegang. Akankah keadaan ini terus berlanjut?

Kalau dibiarkan, anak-anak merasakan situasi ini, anak-anak merasakan betapa beratnya jadi orang Bali beragama Hindu. Tidakkah hal ini akan merugikan generasi berikutnya? Karena dalam masa kecil bukan kebahagian yang dirasakan dan dibayangkan, tetapi betapa beratnya mengerjakan upacara-upacara. Anak-anak menilai upacara bukan lagi dari nilai upacara, namun dari sudut pandangan materi. Berapa beban yang harus dipikul, berapa biaya yang harus dikeluarkan, berapa waktu yang harus dibuang untuk mengerjakan itu. Pandangannya kemudian mungkin seperti pertanyaan seorang anak muda di sebuah pura di Jakarta kepada saya. ''Bisakah Anda merasakan adanya Tuhan? Untuk apa kita sembahyang kepada hal yang tidak bisa dirasakan dan dibayangkan?''

Jangan dianggap pertanyaan ini mengada-ada atau meremehkan. Mari rasakan dan renungkan kembali pertanyaan ini. Apakah karena kita sebagai orang tua tidak bisa memberikan memori sewaktu mereka kanak-kanak, pemahaman apa itu Tuhan, apa itu upacara, dan apa itu leluhur, sehingga dalam memahami kehidupan mereka menggunakan pemahaman logika, bukan pemahaman rasa atau intuisi. Mereka sulit merasakan bagaimana membuat upacara besar yang menghabiskan banyak biaya kemudian setelah selesai dibuang begitu saja. Untuk apa membuang-buang waktu. Akhirnya mereka akan berkata seperti pernyataan mahasiswa Jerman yang pernah mengikuti ceramah saya di Tubingen. ''Kalau Tuhan bisa memberikan saya mobil sekarang, baru saya percaya ada Tuhan.''

Persiapan Galungan

Dalam menyambut hari raya Galungan dan Kuningan, merupakan kesempatan baik buat orang tua untuk membina anak-anak dan keluarganya, bahwa mengerjakan sesuatu harus berencana, diambil bertahap agar tidak merasa beban. Persiapan bertahap seperti Sugian, Penyajaan, Penampahan dan kemudian Galungan, Manis Galungan dan Paing Galungan. Pengaturan ini dibuat sedemikian rupa agar bisa melakukan dengan bertahap, ada saat bekerja keras, ada saat untuk mempersembahkan pada hari Galungan dan ada saat untuk bersenang-senang, 1-2 hari pada Manis dan Paing Galungan.

Semua anggota keluarga mengerjakan dalam sebuah tim, di mana anak-anak muda belajar pada orang tuanya, keluarganya dan masyarakat di sekitarnya. Suasana Galungan memperlihatkan suasana kerja sebuah tim, menyelesaikan semua rangkaian upacara dengan santai tetapi serius. Bekerja dalam sebuah tim, meminta semua yang terlibat untuk aktif mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, membantu yang belum bisa dan mengerjakan yang mungkin dapat dikerjakan. Semua mengambil tugas sesuai dengan kemampuannya tanpa merasa saya lebih banyak mengambil pekerjaan atau merasa tidak perlu mengambil pekerjaan biar santai. Jika mampu mendorong semua anggota keluarga merasa berada dalam sebuah tim, tentu masing-masing mempunyai perasaan meyadnya. ''Ini tugas saya, ini juga pengabdian saya, dan ini juga keterpanggilan saya untuk keluarga, leluhur dan Sang Hyang Widi Wasa.''

Perasaan ''Rahayu''

Masyarakat Bali dalam menjalankan kehidupan, berusaha agar bisa merasakan rahayu (damai/selamat) dengan melaksanakan konsep waktu adalah hubungan baik. Menjaga hubungan baik dengan sesama, dengan lingkungan dan alam semesta, dengan leluhur dan Sang Hyang Widi Wasa. Hidup itu tidak bisa diselesaikan sendiri, harus saling membantu dan saling menghargai. Dalam menyambut hari raya Galungan dan Kuningan, kalau tidak ada waktu atau tidak bisa membuat canang jangan menghukum diri dengan, ''Saya bukan orang Bali Hindu.''

Manusia tidak ada yang sempurna, ada kelebihan dan kekurangannya. Dan semua ini tidak menutup kemungkinan untuk mendekatkan diri kepada leluhur dan Hyang Widi Wasa. Meminta bantuan orang lain atau membantu orang lain tidak salah. Membeli banten karena tidak bisa membuat banten juga salah satu bentuk yadnya. Karena, bisa memberikan kehidupan untuk orang lain yang hanya mempunyai kemampuan dalam membuat banten. Sehingga dalam merayakan hari raya Galungan, semua orang bisa menyambut dengan bahagia, ada yang membeli dan ada yang membuat.

Kalau dahulu, tuntutan hidup belum sebanyak sekarang, banyak hal yang bisa dikerjakan sendirian tanpa perlu membeli. Namun sekarang kebutuhan hidup meningkat dan kehidupan di Bali tidak lagi homogen. Sistem hidup sudah berubah, keterikatan tidak hanya dalam keluarga, namun sudah meluas. Persaingan hidup ketat. Bali dahulu beda dengan Bali sekarang. Dahulu hidup bisa dijalani dengan santai karena tidak ada persaingan. Sekarang kalau ingin hidup di Bali tidak bisa seperti dahulu. Kita harus saling membantu dan saling bekerja sama dengan jangan membiarkan kantong-kantong kehidupan di Bali diambil orang lain.

Banyak perusahaan tidak mau menerima orang Bali karena mereka mengatakan, ''Orang Bali sibuk melaksanakan upacara agama, banyak libur dan tidak menguntungkan dalam berbisnis yang menghitung waktu adalah uang, bukan waktu adalah hubungan baik.'' Mari kita sama-sama saling menghidupi. Mendapatkan rezeki tidak hanya lewat pariwisata. Mendapatkan rezeki juga melalui saling membantu ini, sehingga mengajarkan hidup berdikari bisa dipraktikkan di Bali. Kalau orang Bali mulai berpikir mengenai kehidupan ini --''Hanya orang Bali yang bisa menjaga Bali, hanya orang Bali yang bisa menghidupi dirinya--,'' maka mulailah melakukan ''Apa pun yang akan dikerjakan hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati akan menghasilkan uang''. Kembalikan karakter orang Bali, orang Bali kreatif dan cepat mengubah sikap untuk menjaga keseimbangan. Orang Bali mau menggunakan tanahnya untuk berusaha, mengagungkan Dewi Sri sebagai Dewi Padi dan Dewi kehidupan, juga merupakan sebuah yadnya, menjaga Bali dengan Kebaliannya.

''Ngayah''

Mengartikan emansipasi dalam keluarga jangan digunakan pemahaman orang lain. Maukah melihat peran manusia di Bali bukan dari sudut fisik ia sebagai laki-laki atau perempuan? Peran seseorang dalam keluarga bisa sebagai ''ayah'' dan bisa sebagai ''ibu'' untuk anaknya tanpa melihat fisiknya. Laki-laki bisa mengambil peran sebagai ibu, perempuan bisa mengambil peran sebagai ayah sesuai dengan keterpanggilan hatinya. Masing-masing berusaha mempertahankan keluarga. Di dalam keluarga inilah peran sebagai seorang ibu, ayah, dan anak dipraktikkan. Saling menghargai, menghormati dan membantu. Sistem keluarga sebagai sebuah tim yang merupakan konsep keluarga Bali, perlu terus dikembangkan. Sehingga pendidikan anak pada liburan sekolah dalam rangka hari raya Galungan dan Kuningan tidak dibebankan kepada sekolah kalau tidak ingin kehilangan anak.

Pada saat inilah orang tua harus bisa memasukkan pemahaman agama, budaya Bali dan merasakan keharmonisan keluarga. Kalau anak nakal, jangan salahkan anak itu. Kalau anak mabuk-mabukan, jangan salahkan anak itu. Mari tinjau diri kita sendiri, apakah telah memberikan kebahagiaan dan keharmonisan waktu mereka kanak-kanak? Apakah sudah menanamkan kedekatan dengan leluhur dan Tuhan dengan melaksanakan sesuatu dengan ikhlas, ngayah tanpa mengharapkan imbalan.

Sang Hyang Widi Wasa, Hyang Maha Tahu tentu memberikan jalan terbaik buat umat-Nya yang dekat dan percaya dengan-Nya. Waktu liburan inilah kesempatan memasukkan memori kepada anak, bagaimana ia sebagai anak berhubungan dengan keluarga, keluarga besar dan anggota banjar. Dalam melibatkan anak di banjar untuk belajar bermasyarakat adalah cara yang terbaik untuk mendewasakan anak. Salah satu pendidikan yang dilakukan dalam aktivitas sekaa teruna adalah menyelenggarakan bazar, melatih kepedulian anak bertanggung jawab dan bermasyarakat.

Bisakah dalam menyelenggarakan bazar keberhasilan tidak dinilai dari berapa uang yang diperoleh, namun mampukah bekerja sebagai sebuah tim, semua merasa senang dan puas. Apa artinya uang banyak kalau kemudian uang itu sebenarnya dari hasil merangsang orang lain untuk minum alkohol dan merokok yang merusak dirinya, lingkungan dan orang lain. Nilai uang itu akhirnya tidak ada karena aktivitas bazar itu telah melahirkan peminum dan perokok. Kalau tujuan melaksanakan bazar tidak hanya mencari uang semata namun untuk menggalang kerja sama, menggalang keterikatan sebagai warga banjar, merangsang kepedulian dan keterpanggilan, banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus menjual rokok dan alkohol. Dengan tidak menjual minuman beralkohol dan rokok, loncatan besar telah dilakukan, menyelamatkan Bali dari kebrutalan dan menyelamatkan Bali dari kesakitan. Alkohol dan nikotin yang terkandung dalam rokok adalah zat yang tidak hanya merusak fisik, tetapi juga mengubah zat kimia di otak yang menimbulkan gangguan jiwa. Apakah akan dibiarkan gangguan jiwa tumbuh subur bagai jamur di Bali?

Meyadnya tidak hanya pada persiapan melaksanakan upacara, juga termasuk setelah selesai upacara. Bisakah yadnya itu tidak hanya untuk keseimbangan diri sendiri, tetapi juga keseimbangan pada lingkungan yang membantu kehidupan kita. Jangan biarkan sisa-sisa upacara mengotori lingkungan. Bisakah meyadnya pada lingkungan dengan ngayah menanam bekas-bekas banten yang tidak terpakai, mengembalikan mereka ke bumi. Tanam di pekarangn rumah, pisahkan dengan sampah plastik dan botol. Tindakan ini akan menyuburkan kembali tanah kita dan ini adalah sebuah bentuk yadnya pada Ibu Pertiwi.

 

Source: Luh Ketut Suryani l Bali Post, Senin Pon, 22 April 2002