Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyardi, menilai pemerintah kerap berperilaku tidak adil dalam memberikan bantuan terhadap sekolah yang menjadi favorit dan non favorit. Menurut dia, stigma sekolah favorit harus dihilangkan dengan menerapkan kebijakan zonasi untuk memberikan kesetaraan kesempatan akses pendidikan kepada anak.
Dalam kebijakan zonasi sekolah, usia bukan menjadi hal utama yang dipertimbangkan melainkan jarak rumah siswa dengan sekolah yang lebih dipertimbangkan. "Sering kali saya lihat sekolah favorit lebih sering mendapatkan bantuan, dari sekolah lainnya. Padahal harus disamaratakan," kata Retno dalam diskusi yang disiarkan secara daring pada Ahad, 28 Juni 2020.
Retno menuturkan telah sejak lama memperjuangkan menghilangkan nilai ujian nasional atau UN sebagai parameter kelulusan. Menurut dia, nilai akademik sebagai penentu kelulusan tidak adil. Sebab, setiap anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda.
"Saya waktu menjadi guru pernah mengajukan gugatan ke pemerintah pusat. Dan sekarang parameter penggantinya sudah disiapkan," ujarnya.
Retno melanjutkan, kepintaran intelektual atau akademik hanya satu dari delapan kecerdasan. Jadi, tolak ukur setiap anak semestinya berbeda tergantung kecerdasan yang dimilikinya. "Ada yang pintar membawakan acara, tapi tidak pintar matematik. Ada yang pintar olah raga tidak bisa mengerjakan hitungan ekonomi."
Retno mengaku pernah menemukan seorang siswa yang menjadi anak didiknya dan berbakat di bidang olah raga basket dipaksa berhenti dari minatnya. Sebabnya, kata dia, adalah nilai akademiknya turun. Orang tua menganggap kegiatan ekstrakurikuler anak bermain basket menjadi penyebabnya.
Anak yang berbakat itu pun mendatangi Retno, dan membujuk agar orang tuanya tidak melarangnya bermain basket. "Basket seperti sudah menjadi hidupnya."
Menurut dia, orang tua jangan hanya berpikir bahwa kecerdasan hanya di bidang akademik saja dan mengesampingkan kecerdasan lain. Sebab, menurut dia, anak harus dibimbing sesuai dengan kecerdasannya. "Ini yang masih sering belum dipahami orang tua."
Nah, sistem zonasi, kata Retno, menjadi salah satu solusi untuk memberikan kesetaraan bagi seluruh anak. Setiap sekolah nantinya bakal membantu mengembangkan berbagai kecerdasan anak yang bermacam-macam. "Jangan sekolah bagus dilihat dari nilai akademiknya, tapi prestasi setiap anak yang bisa tereksplorasi nantinya," ujarnya.
Ketua Komisi Bidang Pendidikan DPR RI, Syamsul Huda mengatakan ada banyak opsi untuk menyelesaikan permasalahan penerimaan siswa didik baru yang terjadi setiap tahun. Untuk masalah batas usia yang sempat diprotes orang tua siswa ke DKI, Syamsul meminta kepala dinas dan orang tua segera berkonsolidasi lagi.
"Kami ingin anak lima langkah sampai sekolah bisa masuk. Itu harus dipastikan dan juklak (petunjuk pelaksanaan) harus menjadi rujukan."
Syamsul melihat usia memang bukan menjadi kriteria utama dalam proses penerimaan siswa baru tahun ini. Tapi, jarak yang menjadi utama dalam sistem zonasi ini. "Pastikan narasi besar pendidikan adalah semangat PPDB adalah merdeka belajar anak yang dekat sekolah bisa cepat masuknya," ujarnya.
Sumber : tempo.co
0 comments:
Posting Komentar